Penyebab ekshibisionisme sering menjadi sorotan karena kasus-kasus viral yang melibatkan perilaku tersebut.
Kondisi ini membuat pelakunya merasa puas ketika orang lain melihat alat kelaminnya, sehingga menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Namun, apa sebenarnya yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan ini?
Ekshibisionisme adalah suatu kelainan yang bisa berdampak negatif pada orang lain, bahkan menyebabkan trauma. Oleh karena itu, gangguan ini harus segera ditangani agar tidak berkembang menjadi tindakan kriminal.
Meski kebanyakan pelaku adalah pria, wanita juga dapat mengalami masalah seksual semacam ini. Nah, untuk lebih memahami tentang apa saja penyebab ekshibisionisme, simak ulasan selengkapnya berikut ini.
Pengertian Ekshibisionisme
Gangguan ini menyebabkan seseorang secara tak terkendali menampilkan bagian intim tubuhnya kepada orang lain di tempat umum, baik pria maupun wanita.
Tindakan tersebut seringkali menimbulkan rangsangan dan kepuasan seksual bagi pelakunya.
Kondisi ini termasuk dalam kategori gangguan parafilik, yang merupakan ketertarikan seksual yang tidak normal dan bisa membahayakan diri sendiri maupun orang lain.
Mereka yang mengalami gangguan ini biasanya mencari reaksi seperti ketakutan, keterkejutan, atau kekagetan dari korban mereka.
Aspek Psikologi Ekshibisionisme
Ekshibisionisme pertama kali dikenalkan sebagai gangguan mental dalam sebuah jurnal ilmiah tahun 1877 oleh dokter sekaligus psikolog Prancis, Charles Lasègue (1809–1883).
Perilaku ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari seseorang. Dalam Diagnostic and Statistical Manual edisi ke-4 (kode 302.4), perilaku ini dikategorikan sebagai “parafilia,” yakni penyimpangan seksual yang melibatkan tindakan menunjukkan alat kelamin kepada orang asing.
Perilaku tersebut didorong oleh fantasi dan hasrat seksual yang kuat. Seperti gangguan psikologis lain, kondisi ini dipengaruhi oleh kombinasi faktor biologis (seperti genetik), psikologis (kondisi mental individu), dan sosial (seperti pola asuh dan lingkungan sekitar).
Beberapa teori menyebut bahwa ekshibisionisme dapat terkait dengan pengalaman masa kecil dan perkembangan seksual yang tidak sehat dalam pola asuh orang tua.
Sebuah penelitian dengan sampel 185 pelaku ekshibisionisme mengajukan pertanyaan tentang reaksi saat memperlihatkan alat kelamin kepada orang lain.
Jawaban terbanyak adalah “ingin melakukan hubungan seksual” (35,1%), kemudian “tidak perlu ada reaksi” (19,5%), “untuk menunjukkan alat kelamin mereka juga” (15,1%), “mencari kekaguman” (14,1%), dan “reaksi apapun” (11,9%).
Responden yang merasa “marah dan jijik” hanya 3,8%, sementara yang takut hanya 0,5%.
Di beberapa negara, pelaku ekshibisionisme bisa dikenakan sanksi hukum atas pelanggaran yang dikenal sebagai eksposur tidak senonoh. Beberapa perilaku yang masuk kategori ini antara lain:
- Anasirma, yaitu mengangkat rok tanpa memakai celana dalam untuk memamerkan alat kelamin.
- Flashing, yaitu membuka sebentar bagian tubuh yang biasanya tertutup, seperti memamerkan payudara atau alat kelamin secara singkat.
- Martimaklia, ketertarikan seksual yang melibatkan keinginan agar orang lain menyaksikan tindakan seksualnya.
- Mooning, menunjukkan bokong dengan menurunkan celana dan celana dalam; perilaku ini sering dianggap berbeda berdasarkan gender, di mana laki-laki lebih dianggap sebagai lelucon, sementara perempuan cenderung dikaitkan dengan rangsangan seksual.
- Streaking, berlari telanjang di tempat umum, biasanya untuk menimbulkan kejutan, bukan tujuan seksual.
- Kandaulisme, menelanjangi pasangan seksual secara eksplisit.
- Reflektoporn, menelanjangi diri sendiri dan mengambil gambar pantulan tubuh dari permukaan benda seperti cermin atau peralatan dapur, lalu membagikannya secara publik. Istilah ini dipopulerkan oleh Chris Stevens dalam Internet Magazine.
- Skatologia telepon, varian ekshibisionisme tanpa interaksi fisik langsung, melibatkan perilaku verbal atau telepon.
Semua jenis perilaku ini menunjukkan berbagai bentuk gangguan yang memerlukan penanganan serius.
Klasifikasi Eksibisionisme
Secara garis besar, eksibisionisme terbagi menjadi dua kategori utama, yakni yang tidak berbahaya dan yang berbahaya.
Namun, menurut sebuah kajian ilmiah berjudul Forensik dan Aspek Medik-Legal atas Kejahatan Seksual dan Praktik Seksual yang Tidak Biasa (2009), eksibisionisme dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelas sebagai berikut.
Kelas I: Eksibisionis Berfantasi
Individu dalam kelompok ini sering membayangkan memamerkan alat kelamin kepada orang yang tidak curiga, tetapi terlalu takut untuk benar-benar melakukannya. Mereka umumnya merasa puas hanya dengan fantasi tersebut.
Sebagian mungkin beralih ke eksibisionisme zoofilik sebagai cara yang dianggap lebih aman untuk menyalurkan fantasi mereka.
Kelas II: Eksibisionis Murni
Orang-orang ini puas dengan menampilkan alat kelamin dari jarak jauh dan melakukan masturbasi tanpa menyentuh atau menyakiti korbannya.
Kelas III: Eksibisionis Kriminal
Kelompok ini merupakan pelaku eksibisionisme terbanyak dan biasanya juga terlibat dalam kejahatan seksual lain, terutama pedofilia dan penganiayaan anak.
Setelah memilih korban anak, perilaku mereka bisa dimulai dari eksibisionisme dan berkembang menjadi pelecehan serta penganiayaan yang serius. Kelompok ini dianggap sangat berbahaya bagi masyarakat dan membutuhkan perhatian khusus.
Kelas IV: Eksibisionis Eksklusif
Pelaku dalam kelas ini tidak mampu menjalin hubungan romantis atau seksual yang normal dengan orang dari preferensi gender mereka. Eksibisionisme menjadi satu-satunya cara untuk mencapai kepuasan seksual.
Meski belum banyak laporan mengenai kelompok ini, teori parafilia menunjukkan keberadaan mereka sebagai bagian dari spektrum ekstrem gangguan seksual.
Mereka hidup dalam isolasi seksual dan emosional yang membuat perilaku mereka sangat berbeda dari kelompok lain.
Contoh Ekshibisionisme yang Umum Terjadi
Perilaku seseorang yang memamerkan alat kelamin di ruang publik bisa dilakukan sendiri atau bersama orang lain. Korban biasanya tidak curiga bahkan bisa dari jarak jauh.
Beberapa lokasi yang sering menjadi tempat kejadian antara lain: jendela rumah, dalam mobil, di ambang pintu atau pintu masuk gedung, bus kota, ruang ganti, kamar mandi, dan sejenisnya.
Korban dari tindakan ini umumnya adalah orang asing, yang kemudian menjadi sumber rangsangan seksual bagi pelaku eksibisionisme.
Apakah Ekshibisionisme Termasuk Tindak Kriminal?
Hal tersebut bergantung pada tingkat pelanggaran yang dilakukan agar dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Pelaku dengan kondisi ini bisa dikenai tuntutan hukum dan dihukum karena:
- Melakukan tindakan tidak sopan.
- Melakukan pelecehan seksual.
- Melakukan perilaku tidak senonoh di tempat umum.
- Kejahatan lain sesuai dengan tingkat keseriusan dan situasi yang terjadi.
Pelaku bisa menghadapi tuduhan serius dan hukuman berdasarkan hukum yang berlaku serta sanksi sosial. Tindakan ini juga berdampak psikologis pada korban.
Oleh karena itu, penderita kondisi ini perlu mendapatkan perawatan kesehatan mental agar memahami kesalahan perilakunya, sehingga penanganan yang tepat dapat membantu mengurangi dampak buruknya.
Penyebab Ekshibisionisme
Penyebab ekshibisionisme gangguan seksual belum diketahui secara pasti. Namun, beberapa faktor diduga dapat menyebabkan atau meningkatkan risiko seseorang mengalami gangguan ini.
Meski demikian, faktor-faktor tersebut masih diperdebatkan dan perlu diteliti lebih lanjut. Faktor yang dimaksud adalah:
- Faktor genetik dan neuropsikologis.
- Gangguan seksual ekshibisionisme diduga disebabkan oleh terganggunya perkembangan otak janin sejak dalam kandungan.
- Faktor trauma masa kecil. Beberapa peristiwa yang menyebabkan trauma pada masa kecil, seperti pelecehan seksual, penderitaan emosional, serta kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua, juga dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami ekshibisionisme.
Fantasi seksual yang menyimpang dapat menjadi salah satu bentuk mekanisme untuk mengatasi trauma masa kecil tersebut (coping mechanism).
Beberapa faktor lain juga dapat meningkatkan risiko terjadinya perilaku ekshibisionisme, seperti kepribadian antisosial, penyalahgunaan alkohol, dan kurangnya rasa percaya diri.
Apa Saja Ciri-ciri Penderita Gangguan Seksual Ekshibisionisme?
Gangguan seksual yang ditandai dengan dorongan untuk memperlihatkan alat kelamin kepada orang lain biasanya mulai tampak pada usia antara 15 hingga 25 tahun dan cenderung menurun seiring bertambahnya umur.
Berikut adalah tanda-tanda yang sering terlihat pada individu dengan kondisi ini:
- Mereka merasakan kepuasan saat memamerkan alat kelamin di tempat umum kepada orang asing. Sebagian dari mereka lebih memilih memamerkannya kepada kelompok tertentu, seperti anak-anak atau lawan jenis.
- Rangsangan seksual muncul ketika korban menunjukkan reaksi seperti kaget, takut, atau kagum, yang biasanya diikuti dengan masturbasi.
Namun, tidak ada niatan untuk melakukan kontak fisik atau aktivitas seksual lebih lanjut dengan korban.
- Kesulitan dalam memulai atau mempertahankan hubungan, baik secara romantis maupun pertemanan, sering dialami.
- Seringkali, individu ini juga memperlihatkan tanda-tanda gangguan parafilia lain dan dapat mengalami hiperseksualitas.
Cara Mengatasi Gangguan Eksibisionisme
Sebagian besar individu dengan kondisi ini tidak mencari bantuan medis sampai mereka tertangkap dan dipaksa untuk menjalani pengobatan.
Jika seseorang yang kamu kenal diduga mengalami kelainan ini, sangat disarankan untuk segera melakukan pengobatan. Penanganan yang umum diberikan meliputi psikoterapi dan penggunaan obat-obatan.
Psikoterapi membantu pasien mengendalikan dorongan dan menemukan cara mengatasi keinginan untuk memperlihatkan alat kelamin.
Berbagai pendekatan dilakukan, seperti pelatihan relaksasi, pelatihan empati, serta restrukturisasi kognitif agar hasilnya lebih efektif.
Penggunaan obat juga bisa membantu dengan menekan hormon seksual sehingga hasrat yang berlebihan dapat dikurangi. Obat-obatan untuk mengatasi depresi dan gangguan suasana hati juga mungkin diresepkan guna mendukung terapi.
Tidak banyak penderita yang secara sukarela menemui psikiater atau psikolog karena rasa malu, rasa bersalah, atau kekhawatiran tentang biaya dan masalah hukum.
Padahal, pengobatan medis dan psikologis sangat dianjurkan agar gangguan ini tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain, dan agar tindakan kriminal bisa dihindari.
Terapi untuk gangguan ini biasanya dilakukan oleh psikiater dengan metode yang disesuaikan berdasarkan tingkat keparahan gangguan. Beberapa pilihan terapi meliputi:
Psikoterapi
Sesi konseling, baik individu maupun kelompok, dengan fokus khusus seperti masalah pernikahan atau keluarga, diharapkan dapat membantu memperbaiki perilaku dan meningkatkan kemampuan sosial penderita.
Terapi Obat
Obat yang diberikan biasanya berupa penekan hormon, antidepresan, atau pengatur suasana hati yang berfungsi mengurangi dorongan seksual sehingga perilaku menyimpang bisa ditekan.
Perawatan gangguan ini bersifat jangka panjang dan keberhasilannya sangat bergantung pada motivasi individu untuk sembuh dan memperbaiki diri.
Gangguan ini bisa mempengaruhi kehidupan pribadi, sosial, pekerjaan, dan bahkan berdampak pada aspek hukum.
Meskipun penderita tidak berniat melakukan kontak fisik lebih jauh dengan korban, perilaku ini tetap berpotensi menyebabkan trauma psikologis, terutama pada anak-anak.
Jika kamu menyaksikan perilaku semacam ini, langkah terbaik adalah segera meninggalkan lokasi dan meminta bantuan dari orang sekitar atau petugas keamanan agar pelaku dapat segera diamankan dan ditangani dengan tepat.
Sebagai penutup, memahami penyebab ekshibisionisme penting agar penanganan tepat bisa diberikan dan dampak negatif pada diri sendiri maupun orang lain dapat diminimalkan.