Pengertian stunting adalah gangguan pertumbuhan anak yang ditandai tinggi badan lebih rendah dari standar usianya secara signifikan.
Umumnya, pertumbuhan anak dipantau melalui kenaikan berat badan dan tinggi badan secara seimbang. Jika salah satu tidak berkembang sebagaimana mestinya, hal tersebut dapat menandakan adanya gangguan kesehatan, termasuk kondisi ini.
Akhir-akhir ini, istilah tersebut mulai sering terdengar dalam obrolan para orang tua, khususnya yang memiliki balita, maupun dalam diskusi para tenaga medis dan pakar gizi di berbagai platform media.
Hal ini wajar, mengingat stunting merupakan isu penting yang perlu diperhatikan karena menyangkut masa depan anak.
Kondisi tersebut dapat mengindikasikan bahwa anak tidak memperoleh asupan gizi yang mencukupi.
Jika tidak segera ditangani, dampaknya bisa berlangsung lama, mulai dari hambatan pertumbuhan fisik, penurunan imunitas, hingga gangguan pada perkembangan otak.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami lebih jauh pengertian stunting, penyebab utama yang memicunya, tanda-tanda yang harus diwaspadai, dan upaya pencegahan yang dapat dilakukan sedini mungkin.
Pengertian Stunting
Pengertian stunting merujuk pada kondisi terganggunya pertumbuhan dan perkembangan anak yang disebabkan oleh kekurangan gizi dalam jangka waktu panjang serta infeksi yang terjadi berulang kali.
Kondisi ini umumnya ditandai dengan tinggi badan anak yang jauh di bawah ukuran normal berdasarkan standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, stunting diklasifikasikan menjadi dua jenis. Pertama, stunted, yaitu ketika nilai z-score seorang balita berada di bawah -2.00 standar deviasi.
Kedua, severely stunted, yaitu kondisi yang lebih parah dengan nilai z-score di bawah -3.00 standar deviasi.
Dengan kata lain, stunting merupakan gangguan pertumbuhan yang menyebabkan tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya, bahkan jauh di bawah standar, yang pada akhirnya dapat memengaruhi perkembangan secara keseluruhan dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Penyebab utama kondisi ini umumnya berkaitan dengan kurangnya asupan gizi. Karena itu, tubuh yang pendek dapat menjadi petunjuk bahwa anak mengalami kekurangan gizi kronis.
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua anak dengan postur pendek tergolong stunting, sedangkan anak yang mengalami stunting sudah pasti bertubuh pendek.
Salah satu cara mengidentifikasinya adalah dengan menggunakan nilai standar deviasi. Jika tinggi badan anak kurang dari -2.00 SD, maka ia masuk dalam kategori stunting.
Hal ini perlu menjadi perhatian serius, terutama bila terjadi pada anak yang masih berusia di bawah dua tahun, karena masa ini sangat krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan optimal.
Penyebab Stunting pada Anak
Masalah pertumbuhan yang terjadi pada anak usia dini bisa disebabkan oleh berbagai hal selama masa tumbuh kembangnya.
Meski begitu, secara umum penyebab utamanya terbagi dalam tiga kategori, yaitu kurangnya asupan nutrisi selama kehamilan, kebutuhan nutrisi anak yang tidak terpenuhi dengan baik, serta faktor tambahan lainnya.
Kekurangan Nutrisi Selama Kehamilan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sekitar 20% gangguan pertumbuhan terjadi ketika bayi masih berada dalam kandungan.
Hal ini disebabkan oleh tidak tercukupinya nutrisi yang dibutuhkan selama masa kehamilan, sehingga perkembangan janin menjadi tidak optimal. Akibat dari kekurangan ini bisa berlangsung hingga setelah bayi dilahirkan.
Oleh karena itu, penting bagi ibu hamil untuk memastikan dirinya mengonsumsi makanan bergizi seimbang dan kaya akan nutrisi penting.
Kebutuhan Nutrisi Anak yang Tidak Terpenuhi
Faktor kedua berhubungan dengan kurangnya asupan gizi pada anak yang masih berada dalam usia emas, terutama di bawah dua tahun.
Hal ini bisa disebabkan oleh kualitas makanan pendamping ASI (MPASI) yang kurang memadai, anak tidak diberi ASI eksklusif, atau posisi menyusui yang kurang tepat.
Selain itu, banyak pendapat yang menyatakan bahwa kekurangan asupan zat gizi tertentu seperti protein, zat besi, dan zinc juga bisa memicu terhambatnya pertumbuhan anak pada masa balita.
Gejala pertumbuhan yang tidak normal ini biasanya mulai terlihat sejak usia anak menginjak tiga bulan. Proses pertumbuhannya kemudian akan berjalan lebih lambat saat memasuki usia tiga tahun.
Meski tinggi badan anak tetap bertambah, namun peningkatannya tidak sesuai dengan standar tinggi badan berdasarkan umur (TB/U) yang telah ditetapkan. Perlu diketahui, terdapat perbedaan makna dari kondisi ini berdasarkan usia anak.
Jika anak berusia antara dua hingga tiga tahun memiliki tinggi di bawah ukuran normal, hal tersebut bisa menunjukkan bahwa proses pertumbuhannya sedang terganggu.
Sementara pada anak yang usianya lebih dari tiga tahun, kondisi ini menandakan bahwa gangguan tumbuh kembang telah terjadi secara permanen atau dikenal sebagai kegagalan pertumbuhan.
Penyebab Lain yang Berkontribusi
Di samping dua penyebab utama yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat beberapa hal lain yang juga berperan dalam menghambat pertumbuhan optimal pada anak. Beberapa di antaranya meliputi:
- Kurangnya pemahaman ibu mengenai kebutuhan gizi, baik sebelum masa kehamilan, selama kehamilan, maupun setelah melahirkan.
- Terbatasnya akses terhadap layanan kesehatan yang seharusnya tersedia selama kehamilan dan masa pascapersalinan.
- Ketimpangan dalam ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi yang layak di berbagai wilayah.
- Harga bahan pangan sehat dan bernutrisi yang masih tergolong tinggi, sehingga tidak dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Semua faktor tersebut dapat meningkatkan risiko terganggunya pertumbuhan anak dan perlu menjadi perhatian bersama untuk mencegah kondisi tersebut sejak dini.
Tanda serta Gejala Stunting pada Anak
Perlu diingat bahwa tidak semua balita dengan tinggi badan yang rendah pasti mengalami gangguan pertumbuhan.
Hal ini karena kondisi tersebut hanya bisa dipastikan apabila tinggi badan anak jauh di bawah standar usia yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Menurut penjelasan dari Kementerian Kesehatan, seorang anak baru bisa dikategorikan mengalami gangguan pertumbuhan apabila sudah dilakukan pengukuran tinggi badan dan hasilnya dibandingkan dengan standar WHO, lalu ternyata berada di bawah ambang normal.
Dengan kata lain, kondisi ini bukan sesuatu yang bisa diperkirakan secara kasat mata. Diperlukan proses pengukuran yang akurat di fasilitas pelayanan kesehatan seperti dokter anak, posyandu, atau puskesmas.
Selain pengukuran, ada juga beberapa tanda yang kerap muncul sebagai indikator dari kondisi ini, di antaranya:
- Laju pertumbuhan yang berjalan lebih lambat dari anak seusianya.
- Raut wajah yang tampak lebih muda dibandingkan teman-teman sebayanya.
- Munculnya keterlambatan dalam pertumbuhan gigi.
- Kemampuan konsentrasi serta daya ingat dalam belajar cenderung rendah.
- Sikap anak yang lebih pasif, jarang berinteraksi, dan minim kontak mata saat usia menginjak 8 hingga 10 tahun.
- Berat badan yang tidak stabil atau menurun.
- Lambatnya perkembangan tubuh, seperti menstruasi pertama yang datang lebih lambat pada anak perempuan.
- Kondisi fisik anak yang cenderung mudah mengalami infeksi atau penyakit.
Seluruh gejala tersebut perlu diperhatikan sejak dini agar dapat ditangani secara tepat sebelum menimbulkan dampak jangka panjang.
Dampak Stunting pada Anak
Masalah pertumbuhan ini bisa berdampak pada seluruh aspek perkembangan anak.
Dalam jangka waktu dekat, gangguan yang ditimbulkan mencakup hambatan dalam pertumbuhan otak, gangguan pada sistem metabolisme, menurunnya tingkat kecerdasan, serta terhambatnya pertumbuhan fisik.
Sementara itu, jika tidak ditangani sejak dini, efek jangka panjangnya jauh lebih kompleks dan mencakup:
- Penurunan kapasitas otak dalam berpikir dan memahami informasi.
- Sistem kekebalan tubuh anak menjadi lemah sehingga rentan terserang berbagai penyakit.
- Anak memiliki risiko lebih tinggi terkena gangguan metabolisme seperti obesitas.
- Mengalami kesulitan dalam proses belajar.
- Risiko lebih tinggi terkena gangguan kardiovaskular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah.
- Ketika dewasa, keterbatasan fisik seperti tubuh yang lebih pendek dapat mempersulit dalam persaingan kerja dan berdampak pada produktivitas yang lebih rendah.
- Bagi perempuan, pertumbuhan yang terhambat di masa kecil bisa mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak yang dilahirkannya kelak, terutama jika tinggi badan kurang dari 145 cm.
- Perempuan yang memiliki postur tubuh pendek berpotensi mengalami gangguan pada pertumbuhan rahim, perkembangan plasenta yang lambat, serta terbatasnya aliran darah ke janin saat masa kehamilan.
Anak yang lahir dari ibu dengan tinggi badan di bawah rata-rata lebih rentan mengalami komplikasi kesehatan serius, termasuk keterlambatan pertumbuhan serta hambatan dalam perkembangan saraf dan kemampuan kognitif.
Dampak ini dapat berlangsung secara turun-temurun jika tidak ditangani secara tepat.
Penanganan Stunting pada Bayi dan Anak
Meskipun kondisi ini bisa memengaruhi anak hingga dewasa, kabar baiknya adalah stunting masih dapat diatasi.
Berdasarkan keterangan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, faktor-faktor seperti pola asuh, kualitas dan jangkauan layanan kesehatan, kondisi lingkungan, serta ketahanan pangan memiliki peran penting dalam mengatasi masalah ini.
Salah satu langkah awal yang bisa dilakukan ketika seorang anak teridentifikasi mengalami stunting adalah memberikan pola asuh yang tepat.
Hal ini meliputi pemberian ASI eksklusif selama enam bulan pertama, dilanjutkan dengan Inisiasi Menyusui Dini (IMD), dan tetap memberikan ASI bersama dengan makanan pendamping hingga anak mencapai usia dua tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bersama UNICEF juga menganjurkan agar anak usia 6 sampai 23 bulan diberikan MPASI yang sesuai dengan kebutuhan gizinya.
MPASI yang diberikan sebaiknya mengandung minimal empat dari tujuh kelompok makanan penting.
Kelompok makanan tersebut meliputi kacang-kacangan, umbi-umbian, telur atau sumber protein lainnya, olahan susu, makanan kaya vitamin A, dan sebagainya.
Orang tua juga perlu memperhatikan jumlah pemberian makan minimum atau Minimum Meal Frequency (MMF) yang dianjurkan sesuai dengan usia anak dan status pemberian ASI.
Untuk anak yang masih mengonsumsi ASI dan berusia 6 hingga 8 bulan, makanan harus diberikan minimal dua kali dalam sehari. Bagi anak berusia 9 sampai 23 bulan yang masih diberi ASI, frekuensi makannya minimal tiga kali dalam sehari.
Sedangkan bagi anak usia 6 sampai 23 bulan yang tidak lagi diberikan ASI, makanan perlu diberikan paling sedikit empat kali dalam sehari.
Di samping itu, tersedianya bahan makanan bergizi di rumah juga sangat berpengaruh dalam proses pemulihan anak dari stunting.
Oleh karena itu, penting bagi keluarga untuk memastikan anak mengonsumsi makanan yang berkualitas tinggi setiap hari.
Cara Mencegah Stunting pada Anak
Masalah tinggi badan anak yang tergolong pendek atau dikenal sebagai stunting bukanlah hal yang baru dalam dunia kesehatan. Di Indonesia sendiri, kondisi ini masih menjadi persoalan gizi anak yang belum sepenuhnya terselesaikan.
Hal ini terlihat dari hasil pemantauan status gizi yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Data tersebut menunjukkan bahwa angka kejadian anak bertubuh pendek di Indonesia masih cukup tinggi, terutama jika dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti anak dengan berat badan rendah, obesitas, atau gizi kurang.
Berdasarkan hasil Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2021, jumlah balita yang mengalami kondisi ini mencapai sekitar 5,33 juta atau sekitar 24,4%.
Meskipun angka tersebut menunjukkan penurunan dari tahun-tahun sebelumnya, pemerintah tetap menargetkan agar jumlahnya turun menjadi 14% pada tahun 2024.
Pertanyaannya, apakah kondisi ini bisa dicegah sejak awal? Jawabannya tentu bisa. Karena itu pula, pemerintah menjadikan upaya pencegahan sebagai salah satu program utama guna mencapai target tersebut.
Dalam Pedoman Penyelenggaraan Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga, disebutkan beberapa langkah untuk mencegah kondisi ini, antara lain:
1. Pencegahan untuk ibu hamil dan saat persalinan
- Menjaga kesehatan selama periode 1.000 hari pertama kehidupan bayi dengan maksimal.
- Melakukan kontrol kehamilan secara teratur melalui pemeriksaan antenatal (ANC).
- Melahirkan di fasilitas kesehatan yang layak seperti puskesmas, rumah sakit, atau bidan.
- Memberikan makanan dengan kandungan tinggi protein, kalori, dan mikronutrien bagi bayi.
- Melakukan deteksi dini terhadap penyakit infeksi dan penyakit kronis.
- Mencegah anak dari risiko infeksi cacing.
- Memberikan ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupan bayi.
- Berkonsultasi secara rutin dengan dokter kandungan untuk langkah pencegahan yang sesuai.
2. Pencegahan untuk anak balita
- Memantau pertumbuhan dan perkembangan anak secara berkala.
- Memberikan makanan tambahan (PMT) guna mendukung kebutuhan gizi anak.
- Memberikan stimulasi perkembangan sejak dini agar tumbuh kembang optimal.
- Menjamin bahwa anak mendapatkan layanan kesehatan yang sesuai dan menyeluruh.
- Berdiskusi dengan dokter anak untuk menentukan pola pencegahan yang cocok dengan kebutuhan dan kebiasaan si kecil agar hasilnya maksimal.
3. Pencegahan pada anak usia sekolah
Pada tahap ini, penting untuk memastikan anak menerima asupan nutrisi harian yang sesuai kebutuhan.
Orang tua juga dianjurkan mengenalkan informasi mengenai kesehatan dan gizi secara bertahap dengan bahasa yang sederhana agar mudah dipahami oleh anak-anak.
4. Pencegahan pada masa remaja
Walaupun kondisi tubuh yang pendek pada usia ini sudah sulit diatasi, perawatan dan pembiasaan pola hidup sehat tetap dapat diberikan kepada remaja berusia 14 hingga 17 tahun. Beberapa langkah yang bisa dilakukan antara lain:
- Membiasakan diri menjalani gaya hidup sehat dan bersih.
- Memastikan asupan makanan yang dikonsumsi tetap seimbang dan bergizi.
- Menghindari rokok dan penyalahgunaan zat adiktif seperti narkoba.
- Memberikan pemahaman terkait kesehatan reproduksi.
5. Pencegahan pada usia dewasa muda
Pada tahap ini, pemahaman terhadap program keluarga berencana perlu ditingkatkan. Selain itu, penting untuk melakukan skrining penyakit menular maupun yang tidak menular agar dapat diketahui lebih awal.
Individu juga dianjurkan menjalani pola hidup sehat, konsumsi gizi seimbang, dan tidak menggunakan zat berbahaya seperti rokok dan narkoba.
Berdasarkan kebijakan pemerintah dalam strategi nasional untuk mempercepat pengurangan kasus tubuh pendek akibat kurang gizi, berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
- Memberikan perhatian khusus pada kecukupan gizi ibu hamil dan menyusui, termasuk memperhatikan pola konsumsi dan jenis makanan yang dikonsumsi agar tetap beragam dan seimbang.
- Menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala untuk ibu hamil, bayi, dan anak usia dini.
- Menawarkan berbagai pilihan makanan kepada anak untuk menghindari kebiasaan pilih-pilih makanan yang berdampak pada kurangnya asupan nutrisi.
- Menjaga kebersihan lingkungan, termasuk ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi.
- Mengikuti penyuluhan tentang masalah pertumbuhan anak, cara pengasuhan yang tepat, serta pentingnya pola makan dan gizi untuk perkembangan yang optimal.
- Melengkapi imunisasi anak sesuai anjuran dari organisasi dokter anak nasional sejak bayi dilahirkan.
Sebagai penutup, memahami pengertian stunting sejak dini penting agar orang tua dapat mencegah gangguan pertumbuhan anak dan mendukung tumbuh kembang yang optimal.