JAKARTA - Pangeran Hisahito dari Jepang, putra tunggal Putra Mahkota Akishino dan Putri Mahkota Kiko, baru saja mencapai tonggak penting dalam hidupnya. Melalui upacara tradisional di Tokyo, ia resmi dinyatakan dewasa. Peristiwa ini menjadi sorotan karena Hisahito adalah anggota laki-laki pertama keluarga kekaisaran dalam 40 tahun terakhir yang merayakan kedewasaan. Usianya yang baru menginjak 19 tahun menandai babak baru perannya sebagai bagian dari keluarga kekaisaran Jepang.
Dalam upacara yang berlangsung di Istana Kekaisaran, ia pertama kali mengenakan jubah krem yang melambangkan masa muda, sebelum akhirnya menerima mahkota hitam tradisional bernama kanmuri. Simbol tersebut menandai peralihan Hisahito menuju fase kedewasaan penuh tanggung jawab. Ia juga memperlihatkan rasa hormat dengan membungkuk dalam kepada Kaisar Naruhito serta mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tuanya.
Komitmen Menjalani Tugas Kekaisaran
Di hadapan keluarga kekaisaran, Pangeran Hisahito menyampaikan janji akan melaksanakan tugasnya sebagai anggota keluarga kekaisaran dengan penuh tanggung jawab. Seusai ritual, ia menunggang kuda dan melakukan doa di kuil-kuil istana, melengkapi rangkaian acara yang sarat simbol dan makna. Peristiwa ini tidak hanya menegaskan status dewasanya, tetapi juga memperlihatkan kesiapan Hisahito untuk menghadapi peran besar yang mungkin menantinya kelak.
Posisi dalam Garis Suksesi
Pangeran Hisahito adalah keponakan dari Kaisar Naruhito. Statusnya sebagai anak bungsu sekaligus putra tunggal Putra Mahkota Akishino menjadikannya sebagai pewaris takhta nomor dua setelah ayahnya. Usianya yang masih muda membuat Hisahito menjadi anggota termuda keluarga kekaisaran Jepang yang kini hanya memiliki 16 anggota dewasa.
Dalam garis keturunan, setelah ayahnya, posisi Hisahito disusul oleh Pangeran Hitachi, adik dari mantan Kaisar Akihito. Namun, mengingat usianya yang telah mencapai 89 tahun, Pangeran Hitachi hampir pasti tidak akan naik takhta. Dengan kondisi ini, Hisahito memegang peran penting bagi keberlanjutan Takhta Krisan, simbol monarki Jepang yang telah berlangsung lebih dari 1.500 tahun.
Riwayat Pendidikan yang Berbeda
Perjalanan pendidikan Pangeran Hisahito cukup menarik perhatian publik. Pada 2010, ia memulai sekolah di Taman Kanak-kanak Universitas Ochanomizu dan kemudian melanjutkan ke sekolah dasar universitas tersebut pada 2013. Keputusan ini menjadi sejarah karena Hisahito merupakan anggota pertama keluarga kekaisaran yang tidak menempuh pendidikan di Sekolah Dasar Gakushuin, sekolah tradisional bagi keluarga kerajaan.
Kini, ia tengah melanjutkan studi di Sekolah Ilmu Hayati dan Lingkungan, Universitas Tsukuba, bersama rekan-rekan sebayanya. Pilihan pendidikan ini mencerminkan upaya keluarga kerajaan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, tanpa harus melepaskan tradisi.
Tantangan Masa Depan Kekaisaran
Meski momen kedewasaan Hisahito disambut penuh sukacita, masa depan Takhta Krisan menghadapi tantangan serius. Saat ini hanya ada tiga pewaris laki-laki yang tersisa: Putra Mahkota Akishino, Pangeran Hisahito, dan Pangeran Masahito yang telah berusia 88 tahun.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran tentang krisis keturunan dalam keluarga kekaisaran Jepang. Kekurangan penerus laki-laki dipandang sebagai ancaman nyata terhadap kelangsungan monarki. Aturan yang melarang perempuan naik takhta semakin mempersempit peluang regenerasi dalam garis suksesi.
Dukungan Publik terhadap Kaisar Perempuan
Jajak pendapat terbaru menunjukkan mayoritas rakyat Jepang mendukung adanya perubahan undang-undang untuk membuka peluang perempuan naik takhta. Bahkan, sekitar 90 persen masyarakat mendukung gagasan kaisar perempuan. Hal ini diperkuat dengan popularitas Putri Aiko, anak tunggal Kaisar Naruhito.
Namun, undang-undang saat ini menetapkan bahwa jika seorang putri menikah dengan rakyat biasa, ia harus kehilangan status kerajaannya. Situasi ini membuat posisi perempuan dalam keluarga kekaisaran semakin terpinggirkan, meski di sisi lain publik memberikan dukungan kuat agar mereka berperan lebih besar.
Akar Tradisi dan Jejak Sejarah
Dalam sejarah panjang Jepang, perempuan pernah beberapa kali naik takhta. Tercatat delapan kaisar perempuan pernah memimpin, dengan Permaisuri Gosakuramachi sebagai yang terakhir pada abad ke-18. Bahkan, tokoh legendaris seperti Ratu Himiko pernah berperan besar dalam mempersatukan wilayah Jepang kuno.
Meski begitu, sejak Konstitusi 1889, aturan suksesi hanya terbatas pada laki-laki. Undang-Undang Rumah Tangga Kekaisaran 1947 tetap mempertahankan tradisi ini. Sementara itu, wacana untuk mengubah aturan sempat muncul, tetapi terhenti setelah kelahiran Pangeran Hisahito pada 2006 yang dianggap menyelamatkan garis keturunan laki-laki.
Simbol Budaya dan Harapan ke Depan
Keluarga kekaisaran Jepang tetap menjadi simbol budaya dan persatuan bangsa. Kehadiran Hisahito sebagai penerus muda diharapkan mampu memberi harapan baru bagi keberlangsungan Takhta Krisan. Meski tantangan besar masih ada, khususnya soal keterbatasan pewaris laki-laki, peristiwa kedewasaan Pangeran Hisahito memberi energi positif bahwa generasi baru keluarga kekaisaran siap menjalankan tugasnya.
Ke depan, perdebatan mengenai suksesi perempuan kemungkinan akan semakin menguat. Namun, apa pun hasilnya, keberadaan Pangeran Hisahito tetap menjadi penopang utama bagi stabilitas simbolis monarki Jepang. Dengan perannya yang kian besar, ia diharapkan mampu menjaga kesinambungan tradisi dan nilai yang telah diwariskan selama ribuan tahun.